Sobat, Apa Salahku, Sehingga Kau Belum Memaafkanku ?


Postingan kali ini benar-benar out of topic [OOT] dari posting-posting biasanya. Kali ini aku ingin curhat. (ceilee-kaya cewek aja,, Biarin !!) :D. Persoalanku kali ini perihal pecahnya persahabatan antara aku dengan seorang ikhwan sebut saja bernama Fulan. Aku sendiri tidak mengerti dengan bekunya komunikasi diantara kami selama kurang lebih 3 tahun. Dan apa yang menjadi kesalahan besarku sehingga aku sama sekali tidak pernah punya kesempatan untuk memperbaikinya atau sekedar bertanya apa sih salahku..?

Sebelumnya, kami berdua dan beberapa kawan ikhwan-akhwat lainnya [terutama angkatan 2003] cukup akrab berkawan dan ber’saudara’ dalam sebuah keluarga besar Syiar Kegiatan Islam Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret (SKI FSSR UNS). Suka, duka, dan canda bersama-sama menjadi konsumsi kami setiap kali berkumpul di sekretariat SKI FSSR UNS. Saat menjadi anggota biasa, setiap kegiatan dauroh dan marhalah-marhalah yang diadakan SKI pun hampir selalu kami ikuti bersama-sama untuk semakin memperkuat rasa persaudaran itu. Sebuah persaudaran yang benar-benar dibungkus dalam bingkai fitrah Islami.

Saat menjadi kepala bidang dengan masing-masing tanggungjawab amanahnya pun, kami selalu berjuang seia sekata dan saling bantu tanpa memandang iri wilayah amanah masing-masing. Sekalipun diantara kami memiliki arah pemikiran yang berbeda dalam persoalan “jamaah / kelompok” atau fikroh, itu tidak menjadi alasan bagiku untuk tidak menghormati Fulan dan membina ukhuwah yang didasarkan pada prinsip Islam. Bahkan, ketika Fulan berniat untuk keluar dan ta’lim di sebuah majelis ta’lim yang sering kuhadiri, demi kemaslahatan dan menghindari fitnah yang tertuju kepadaku, aku justru meyakinkan kepadanya apakah berpindah adalah sebuah solusi yang paling tepat saat kecewa pada seorang murobbi atau sebuah jamaah. Hingga pada sebuah titik, Fulan pun selanjutnya mengurungkan niatnya untuk tidak keluar dari liqo’ nya sebelumnya. Aku pun sekedar mengingatkannya agar Fulan lebih tertib untuk datang dan sabar.

Perlu kujelaskan sedikit kenapa aku justru menyuruh Fulan balik ke liqo’ nya daripada intensif di ta’lim umum yang sering kuhadiri, sebetulnya lebih disebabkan karena alasan demi kemaslahatan dan menghindari fitnah (terutama yang nantinya dialamatkan kepadaku). Singkat cerita, aku mencium kabar bahwa si Fulan itu sebetulnya digadang-gadang sejak lama untuk menjadi seorang ketua umum SKI oleh para senior-senior di SKI. Dalam pandanganku, para senior-senior itu punya syarat mutlak yang harus dijadikan dasar untuk menjadi ketua umum SKI [tidak tertulis]. Syarat itu adalah harus ikut liqo’ di tarbiyah, sebuah kelompok yang mensupport PKS dalam wilayah politik praktis. Sementara itu, aku boleh dibilang bukanlah bagian dari komunitas tarbiyah, karena memang dari awal aku tidak terlalu suka dengan pengotakan model kelompok seperti itu. Meskipun demikian, aku bukan berarti tidak ikut ta’lim sama sekali. Aku sering menghadiri ta’lim-ta’lim umum maupun khusus kepada beberapa orang ustadz yang berbeda-beda latar belakang kelompoknya, namun saat itu aku secara rutin menghadiri ta’lim seorang ustadz di masjid Al Irsyad Solo, yang terkategorikan sebagai ustadz yang bukan bagian dari komunitas tarbiyah. Melihat Fulan ingin meninggalkan tarbiyah, maka aku justru melarangnya jika memang alasannya dilatarbelakangi semata-mata hanya karena kecewa pada beberapa pribadi para murobbi-nya saja. Selebihnya, aku juga khawatir fitnah yang dialamatkan kepadaku akan bertambah tajam sehingga membuat banyak orang menjadi penuh dosa karena terhasut oleh fitnah itu.

Fitnah yang kumaksudkan adalah adanya sebuah isu bahwa aku sering mengajak beberapa kawan SKI untuk keluar dari komunitas tarbiyah, dan masuk ke kelompokku. Padahal, alih-alih mengajak, kelompok yang dimaksud sebagai kelompokku pun tidak kupahami kelompok apa padahal aku sendiri merasa tidak mengikuti satu kelompok semata. Pengaruh itu cukup kuat sehingga aku merasa sulit untuk sekedar ‘bekerja’ di SKI.

Padahal, yang kuinginkan dan telah kulakukan adalah ajakan agar setiap anggota SKI jangan pernah merasa dirinya yang terbaik dan paling beriman dengan menjadi anggota SKI. Bagi sebuah organisasi dakwah, penting bagi SKI untuk mengajak semua umat Islam baik dari latarbelakang kelompok manapun untuk bergabung karena kondisi kepengurusan SKI kala itu memang benar-benar kekurangan SDM. Itulah yang kutempuh. Kuajak beberapa kawan dari HTI, MTA, dari Jamaah Tabligh, bahkan dari Salafy sekalipun dll.

Sayangnya tidak semua menyatakan setuju dan dan bersedia untuk menjadi pengurus. Namun, beberapa diantara mereka bersedia untuk menghadiri sejumlah acara-acara yang diadakan SKI. Kebanyakan orang melihat bahwa SKI adalah komunitas tarbiyah dan otomatis adalah KAMMI dan berorientasi politik pada PKS. Apa yang dilakukan oleh beberapa pengurusnya pun semakin membuat citra tersebut semakin kental karena kegiatan-kegiatan tarbiyah sering menggunakan fasilitas-fasilitas secara langsung atau tidak langsung pada fasilitas-fasilitas SKI. Selebihnya, aku juga menekankan kepada kawan-kawan terutama ‘anak-buah’ku di bidang untuk memiliki sikap kritis, serta tidak semata-mata sami’na wa atho’na. Mungkin, karena hal-hal yang kulakukan itulah maka menjadikan sedikit polemik di sejumlah pengurus yang memiliki kefanatikan terhadap kelompoknya sehingga aku beberapa kali memperoleh dan mendengar fitnah diarahkan kepadaku. Tapi apa yang bisa ku lakukan atas fitnah-fitnah itu?

Fitnah itu seperti kentut yang tidak berbunyi namun baunya sangat menyengak. Dan bau itu dialamatkan kepadaku. Huft. Aku tidak diberikan kesempatan untuk mengklarifikasi fitnah-fitnah itu. Bahkan jika memang mereka adalah seorang yang benar-benar ter-didik (bc: ter-tarbiyah) sudah menjadi kewajiban mereka-lah untuk ber-tabayun terhadap fitnah itu langsung kepadaku, bukan justru ber-“tabayun” kepada orang lain yang justru semakin membakar fitnah itu semakin bergejolak. Dan kini -setelah fitnah itu tersebar, maka aku menjadi seseorang yang tertuduh (bc: ter-tahdzir). Huft. Na’udzubillahi minasyaithon arrajim. Dan lebih anehnya lagi, betapa banyak orang yang tidak mengenalku secara mendalam berani mem-‘fatwa’kan bahwa aku seorang yang tidak layak untuk dijadikan sebagai kawan. Masya Allah. Dan perkataan itu terucap dari kalimat seorang yang kono disebut ustadz. Hmm… Ya sudahlah.

Dan sampai kini, hubunganku dengan si Fulan masih membeku. Setiap aku sms dengan nomorku, selalu dijawab, “Maaf, ini siapa ya? HP-ku error kemaren. Jadi banyak nomor yang tidak tersimpan. Afwan.” Satu dua kali aku sms Fulan, dia selalu menjawab seperti itu. Aku pun juga membalas sms-nya dengan menuliskan namaku. Hingga terlampau sering aku selalu memperoleh jawaban seperti itu, maka ketika aku sengaja mengirimkan sms-ku, dan ia menjawab seperti itu aku tak mau menanggapinya kembali.

Berkembanganya situs jejaring sosial dan internet, juga membuat komunikasi lebih mudah. Media blog, facebook, twitter dll merupakan sebuah sarana yang efektif untuk mempererat hubungan silaturahmi. Gagal melalui sms, aku mencoba menyambung silaturahmi dengan facebook. Aku add namanya. Berbulan-bulan akun-ku tak pernah dikonfirm. Ternyata, namaku memang di-reject. Aku tidak diterimanya sebagai bagian dari list pertemanannya. Astaghfirullah al azhim. Ampunilah aku YA Allah. Hal yang sama juga terjadi di blog. Komentar-komentarku tidak pernah diizinkan untuk lolos dari moderasi. Hmm.

Berhenti di situ kah usahaku? Alhamdulillah belum. Allah masih melembutkan hatiku. Lebaran kemaren, aku sengaja mengiriminya sebuah bingkisan kecil lebaran yang spesial untuknya. Aku berharap, bingkisan itu bisa mencairkan hubungan komunikasi dan silaturahmi kami. Owh, ternyata tidak juga. Selepas lebaran, ketika ada acara reuni, pandangannya terhadapku masih tak berubah seperti sebelum-sebelumnya. Aku-lah yang selalu membuka salam dan pembicaraan. Itupun tak pernah bisa seperti yang kubayangkan. Ia hanya menjawab seadanya saja.

Jika kuhitung-hitung, tahun ini menginjak 3 tahun hubungan silaturahmi kami beku dan kaku. Dan sampai hari ini, aku sudah berusaha yang cukup maksimal untuk memperbaiki hubungan kami. Dan sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Menjelang masuk bulan Ramadhan tahun ini, sengaja kutulis posting ini. Aku berharap kawan-kawan yang membaca ini bisa memberikan solusi untukku. Dan jika fulan membacanya, maka aku berharap ia bisa memaafkanku (yang jujur tidak pernah ku mengerti apa sisi kesalahanku).

Pesan untuk ‘fulan’:

Akhii, sampai kapan kau bisa benar-benar memaafkanku atas kesalahan yang tak ku mengerti apa itu? Semoga Allah melembutkan hatimu. Selamat shoum romadhon.

Ahmed Fikreatif

.:: Jika Saudara / i menyukai tulisan ini, maka sekarang Anda dapat memberikan apresiasi dengan ikut memberikan donasi / kontribusi finansial ala Blogger. Jika Saudara / i membenci sebagian atau keseluruhan tulisan ini pun saya tetap mempersilakan untuk ikut memberikan donasi. Namun, jika saudara / i tidak bersedia memberikan donasi, itu pun tidak mengapa… Caranya, silakan baca link berikut ini ( klik di sini..! ) ::.

“Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama, Blogger Mati Meninggalkan Postingan”

7 Tanggapan

  1. pertamax dulu ah..

  2. slalu ada waktu untuk melenturkan suatu hubungan yang beku.. slalu ada senyum untuk menghadapi segala kesulitan situasi… karena ini adalah jalan terjal tuk melaju naik ke atas.. menuju pada tingkatan hubungan yang lebih tinggi.. lebih dalam… smoga saja… suatu saat..

  3. waktu yg akan menghapus semua luka. esensi kehidupan adalah belajar untuk memaafkan dan menerima satu sama lain 🙂

    mohon maaf juga kalau saya salah selama ini,semoga puasa kita sempurna di mata Allah dalam bulan ramadhan yg akan segera kita masuki ini 😀

  4. sabar boss,,,
    yang penting sampeyan wes usaha, benar2 minta maaf dan mencoba menyambung silaturahim….
    “Semoga Alloh melembutkan hatinya”…aamiin…
    (aku wes dimaafke to????hehe..:D)

    Marhaban ya Romadhon..^_^

  5. hiks hiks 😥

    yg sabar ya mas… 😥

    😦

  6. mari nge-teh, mari bicara….:)

  7. jadi ceritanya maksudnya gimana bro 🙄

Tinggalkan komentar