Krisis Sepakbola di Italia & Indonesia (bag 2 Selesai)


Krisis Sepakbola di Indonesia (sambungan Tulisan Tentang Bola – bag 2 Selesai)

Sementara itu, sebuah krisis yang sama dan memiliki kemiripan dengan Italia juga terjadi di Indonesia. Telah beberapa tahun, Indonesia tidak pernah memperoleh prestasi di bidang sepakbola. Padahal konon, Liga Indonesia sering disebut liga yang terbilang terbaik di Asia. Hmmm….

Jika memang kompetisi Liga Indonesia merupakan kompetisi yang termasuk terbaik di Asia, maka hal tersebut ternyata sama sekali tidak berpengaruh kepada peningkatan kualitas dan prestasi timnasnya. Setiap kali menonton tayangan sepakbola timnas Indonesia di televisi, aku hampir selalu melihat nama-nama yang “itu-itu saja”. Bahkan ternyata ada juga seorang pemain Timnas Indonesia yang di klubnya justru lebih sering duduk menjadi cadangan.

Setahuku, Indonesia memiliki banyak para pemain sepakbola yang berda di negeri-negeri Eropa. Mereka bermain secara reguler di beberapa klub baik yang kecil maupun besar baik di level utama maupun kedua. Dan rata-rata mereka berusia masih muda. Demikian setahuku berdasarkan beberapa referensi di forum-forum. Aku masih ingat dulu ada satu nama yang tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang ini. Ada nama Rigan Aghaci yang bermain di liga Belanda. Tetapi, PSSI tidak pernah memanggil mereka sebagai pemain timnas. PSSI lebih suka berada di dalam tempurung sehingga yang dipanggil membela timnas hanya “itu-itu saja”. Syukur-syukur bermain dengan baik, eee dari ke hari prestasi timnas pun tidak pernah stabil. Indonesia bahkan sudah tertinggal jauh dari Thailand, Singapura, Vietnam, bahkan Malaysia. Dengan negara Laos pun Indonesia harus menelan kekalahan beberpa waktu lalu.

Melihat kondisi itu, sempat aku mendengar PSSI akan melakukan naturalisasi pemain-pemain. Seperti biasa, ada pro dan kontra. Ada yang menyebut nasionalisme. Jadi lebih baik buruk tapi “produk dalam negeri”. Di satu sisi, ada yang menyebut tidak masalah selama mereka memiliki nasionalisme Indonesia. Toh, sebagian para pemain asing yang bermain di Indonesia banyak yang sudah memiliki kewarganegaraan Indonesia juga.

Kalau punya pendapat boleh-boleh saja timnas PSSI diambil dari naturalisasi para pemain asing yang telah menjadi WNI. Toh mereka sekarang adalah seorang WNI yang absah membela negaranya. Namun, pengambilan para pemain dari para pesepakbola yang memperoleh naturalisasi tersebut selayaknya dilakukan hanya semata-mata demi mengangkat prestasi PSSI semata-mata sesaat saja, namun adalah sebuah upaya panjang untuk membangun timnas jangka panjang. Jika hanya untuk sesaat, maka berarti hal itu juga semacam pelecehan kepada para pemain yang dinaturalisasi tersebut seolah-olah mereka hanya dimanfaatkan saja, selebihnya ditinggalkan begitu saja. Lebih dari itu, PSSI dan pelatih tidak boleh melupakan para pemain Indonesia yang tersebar di negara-negara Eropa yang jumlahnya cukup untuk membuat sebuah tim. Dengan demikian, proses seleksi masuk timnas benar-benar tersaring dan melahirkan para pemain timnas yang terselektif tentunya. Sehingga orangnya “tidak itu-itu saja”.

Prestasi bukanlah dibangun secara merta begitu saja. Real Madrid yang menghimpunkan dana uang sebegitu besarnya dengan mengumpulkan seluruh pemain-pemain terbaik di dunia ternyata juga gagal mewujudkan mimpinya. Itu saja sebuah klub yang kekayaannya mungkin melebihi kekayaan negara Indonesia ini. Nah, bagaimana dengan Indonesia??

Untuk mengejar sebuah prestasi jangka panjang, maka jika berbicara mengenai sepakbola tidak bisa lepas dengan yang namanya suporter. Di Indonesia, rata-rata suporter secara umum memiliki rasa fanatisme yang berlebih. Sebuah ikatan persahabatan antar suporter klub lokal sering berjalan sesaat saja. Gesekan-gesekan antar suporter sering menjadi pertengkaran dan berujung pada bentrokan fisik. Hal tersebut selanjutnya akan menimbulkan aroma saling dendam yang tidak pernah berujung. Sebagai misal, suporter Pasoepati yang terlibat “permusuhan” dengan bonek Surabaya; The Jakmania punya “musuh bebuyutan” dengan Bobotoh Persib dan aneka fanatisme sepakbola yang tidak pernah berhenti sepanjang masa.

Jika melihat sejarah masa lalu, saat sebelum adanya kompetisi Liga Indonesia, mungkin “permusuhan” seperti itu dimungkinkan terjadi. Selama model kompetisi masih berwujud Perserikatan waktu itu, para pemain sepakbola secara umum memang berasal dari putra-putra daerah asal klub sepakbola yang bersangkutan. Akibatnya, aroma fanatisme sangat kental dengan penonjolan-penonjolan sisi kedaerahan. Hampir tidak ada cerita saling transfer pemain dari klub satu ke klub lainnya karena dulu hal seperti itu dianggap sebagai hal yang memalukan.

Anehnya kini setelah model kompetisi bermodel Liga, dengan mengabungkan klub perserikatan dan Galatama, sisa-sisa tradisi ala perserikatan itu masih saja berlaku. Para suporter dengan segenap fanatisme butanya akan membela klubnya mati-matian. Kekalahan, apalagi jika terjadi di depan mereka / di kandang mereka, tidak boleh terjadi dan tidak bisa diterima. Jika hal itu terjadi, rata-rata akan berakhir rusuh. Sikap tidak menerima kekalahan dengan lapang dada masih menjadi PR besar suporter-suporter klub liga Indonesia. Tak salah jika rata-rata dalam pertandingan sepakbola di Indonesia kemenangan lebih sering terjadi oleh tuan rumah. Hasil draw lebih sering terjadi daripada kekalahan tuan rumah. Bahkan mungkin bisa dikatakan, tuan rumah tidak pernah kalah dalam kamus liga Indonesia karena terlampau sedikitnya tim tamu yang mengandaskan tuan rumah.

Sepakbola yang hingga kini masih menjadi olahraga paling favorit di Indonesia masih perlu banyak penataan di unsur-unsur utamanya. Terawal dan paling utama dimulai dengan reformasi di tingkat PSSI berikut perangkat-perangkatnya mulai Komdis dll, kemudian berlanjut di klub-klub sepakbola yang sejak dimulainya era Super Liga diwajibkan berbadan hukum dan tidak boleh mengandalkan dana dari APBD daerah setempat juga perlu dibehahi. Klub juga harus siap menerima kekalahan dalam sebuah pertandingan. Para suporter perlu ditertibkan dan dibina agar lebih tertib dan terkontrol serta tidak terjebak fanatisme kedaerahan dan sempit lainnya. Mereka juga harus siap menerima kekalahan, meskipun sebagai tuan rumah, dengan bijaksana dan legowo. Jika memungkinkan, suporter yang anarkis bisa dipidanakan sehingga bisa diproses secara hukum jika anarkismenya mengarah ke sebuah tindakan kriminal.

Jika hal itu belum dibenahi, maka aku tidak berharap timnas Indonesia akan banyak berubah dan memberikan prestasinya. 😀

Indonesia dan Italia sedang mengalami krisis dalam sepakbola. Bagaimana pandangan anda???

.:: Jika Saudara / i menyukai tulisan ini, maka sekarang Anda dapat memberikan apresiasi dengan ikut memberikan donasi / kontribusi finansial ala Blogger. Jika Saudara / i membenci sebagian atau keseluruhan tulisan ini pun saya tetap mempersilakan untuk ikut memberikan donasi. Namun, jika saudara / i tidak bersedia memberikan donasi, itu pun tidak mengapa… Caranya, silakan baca link berikut ini ( klik di sini..! ) ::.

“Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama, Blogger Mati Meninggalkan Postingan”

2 Tanggapan

  1. wah, jalur reformasinya panjang sekali yah… lha kapan bisa berprestasinya… :((

Tinggalkan komentar