Menjadi Imam Shalat Idul Fitri di Tengah Pandemi

Sehari sebelum lebaran, seorang teman sekaligus tetangga mengajak bikin shalat Idul Fitri bareng di rumahnya. Di rumahnya, ada dia, istrinya, 3 orang anaknya, dan 1 orang asisten rumah tangga. Total ada 6 orang. Dari pihak saya, ada 4 orang. Saya, istri, dan 2 orang anak saya.

Malam takbiran,  saya langsung membaca kembali fiqih shalat Idul Fitri di tengah situasi pandemi. Ada beberapa artikel yang saya baca. Dari MUI, Muhammadiyah, dan satu lagi tidak saya ketahui. Selain itu, saya juga cari sejumlah naskah khutbah shalat Idul Fitri. Bismillah, finally saya bilang ke teman “Oke deh. Besok kita shalat bareng.”

***

Seusai shalat subuh, saya mandi. Istri bangunkan si kakak. Setelah kakak mandi, giliran si mas mandi. Terakhir baru istri yang mandi. Kami berusaha mengenakan baju terbaik yang kami miliki. Kakak pakai baju gamis abu-abu, si mas pakai baju kok putih, istri pakai gamis abu—abu, dan saya baju koko krem. Pukul 06.20, berempat kami berangkat setelah ambil air wudhu dan mengenakan masker kain sambil takbiran.

Tiba di rumah teman, kami cuci tangan dengan hand sanitizer terlebih dahulu sebelum masuk rumah. Ternyata seisi rumah sudah siap. Tanpa pikir lama, kami mulai shalatnya. Tak ada shalat qabliyah, tak ada tahiyatul masjid, dan tak ada azan dan iqamat. Sesuai kesepakatan, saya diminta menjadi imam sekaligus khatibnya.

Shalat dimulai dengan takbiratul ikhram. Lalu takbir (zawahid) sebanyak 7x lanjut membaca Al Fatihah. Berdasarkan panduan shalat Idul Fitri yang saya baca, ada sejumlah surat yang disunnahkan untuk dibaca sesudah Al Fatihah yaitu antara lain, surat Qaf, surat Al Qomar, surat Al A’la, dan surat Al Ghosiyah. Surat Qaf dan surat Al Qomar belum hafal. Surat Al Ghosiyah sudah mulai lupa karena jarang dihafal ulang. Saya memilih membaca surat Al A’la untuk rakaat pertama karena merasa sudah hafal lancar. Untuk rakaat kedua, saya baca Adh Dhuha. Mungkin tahun depan, saya harus lebih sering mengulang hafalan Surat Al Ghosiyah biar lebih “nyunnah”. Ruku, i’tidal, sujud, dan duduk, semua gerakan dan kaifiyat-nya sama dengan shalat wajib biasa. Rakaat pertama selesai lanjut ke rakaat kedua. Gerakan-gerakannya sama dengan rakaat pertama. Bedanya, pada rakaat kedua, takbir (zawahid) dilakukan sebanyak 5x.

Seusai salam, saya langsung bangun dari duduk untuk berdiri membacakan khotbah. Khotbah dilakukan dengan berdiri. Satu pendapat menyebut dilakukan sekali, pendapat lain dilakukan dua kali tetapi tanpa duduk, sedangkan pendapat yang lain lagi dua kali dengan duduk seperti shalat Jumat. Saya memilih khotbah berdiri tanpa duduk.

Saya menyiapkan teks khotbah sebanyak 3 halaman kertas A4. Materi khotbah intinya, supaya kita berbakti kepada kedua orang tua, supaya kita sebagai orang tua menyayangi anak-anaknya, dan suami istri agar saling berkasih sayang saling menasehati kepada pasangannya. Harapannya, kelak kita semua bisa berkumpul reuni di Jannah.

Khotbah kedua, saya membacakan doa agar Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita semua kebahagiaan dunia akhirat, mengumpulkan kita semua di Jannah-Nya, dan mengharapkan agar Allah ta’ala berkenan segera mengangkat wabah Covid-19 ini dari muka bumi serta menjauhkan umat dari berbagai musibah.

Tak lebih dari tujuh menit, khotbah selesai. Selesai khutbah, kami tidak bersalam-salaman karena mematuhi protokol Kesehatan dalam rangka mengurangi potensi penularan covid-19. Ucapan tahniyah taqabbalallahu minna wa minkum serta ucapan saling memberikan maaf dilakukan dengan isyarat kedua tangan di depan dada. Selanjutnya kami lanjut makan lontong opor ayam sambal ngobrol bercengkerama selama beberapa saat.

Ini merupakan pengalaman pertama saya menjadi imam dan khatib dalam shalat Idul Fitri walaupun dalam lingkup yang sangat kecil, yaitu Shalat Idul Fitri #dirumahaja. Tentunya, ini juga merupakan salah satu pelajaran berharga bagi saya di tengah wabah pandemic Corona ini. Kalau ngga ada Corona, mungkin tak pernah saya mengalami menjadi imam dan khatib shalat Idul Fitri. 😀