Mengenang Maca Kecil di Kauman dan di SD bersama 20 Siswa yang Luar Biasa

 

SD ISLAM NDM (Dari Sisi Barat)

SD ISLAM NDM (Dari Sisi Barat)

Solo, di kota inilah aku menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun (setidaknya hingga kini). Aku tidak tahu apakah aku akan kembali lagi ke kota yang benar-benar memberiku kenangan yang tak mungkin terlupakan.

Meski aku tidak dilahirkan di kota ini, aku merasa terlahir di kota kecil yang sering disebut sebagai “Kota Sumbu Pendek” ini. Aku tidak tahu pasti pada usia berapa aku pertama kali pindah di Kota yang terkenal dengan Sungai Bengawan Solo-nya. Yang aku ingat, sebelum aku masuk taman kanak-kanak pada umur tiga (3) tahun, aku tinggal di sebuah rumah kontrakan tua di daerah Kauman-Kampoeng Batik. Aku juga masih ingat setiap hari dititipkan di rumah kakek-nenekku yang ketika itu rumahnya masih berdinding anyaman bambu (jawa: gedhek). Setelah aku dimasukkan ke taman pendidikan kanak-kanak pun, aku juga masih dititipkan kepada kakek-nenek (baca: simbah_jawa). “Penitipan” ini berlangsung terus hingga aku lulus SD, dan selanjutnya menginjak bangku SMP.

Tahun 1992, ketika aku masih sekolah di bangku SD kelas 1, orang tua memutuskan berpindah rumah di pinggiran kota Solo tepatnya di daerah Kecamatan Kartasura yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Sukoharjo.

Meski berpindah rumah di Sukoharjo, aku tetap disekolahkan orang tua di Kauman Solo. SD Islam NDM Kauman Surakarta demikian nama lengkap sekolah dasar tempat dasar-dasar ilmu pendidikanku ditanamkan. Itulah mengapa, aku selalu dititipkan kepada simbah hingga lulus SD karena kedua ortuku harus bekerja pagi hingga siangnya. Selepas pulang sekolah, sambil menunggu jemputan orang tuaku, aku habiskan waktu untuk bermain dengan kawan-kawan di jalanan Kota Solo yang kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga miskin. Kawan-kawanku rata-rata adalah anak penjual sate Madura, anak penjual kain, anak preman pasar, anak buruh pabrik, anak para juragan batik Kauman, anak para buruh pengusaha Klewer, anak tukang parkir, anak tukang becak, anak penjual bakso & mie keliling, dan anak dari (bukan bermaksud untuk merendahkan profesi dan pekerjannya) para pemilik profesi-profesi rendah yang setiap harinya diisi dengan kehidupan keras dan kejam. Kata-kata jorok yang belum saatnya keluar dan didengar dari mulut serta telinga seorang anak SD sudah seringkali terdengar dan sempat kuterbiasa dengan kata-kata itu. Asu, Bajingan, Kere, Basio, Lonte, dan lainnya seolah kata-kata makian yang begitu saja keluar dari mulutku meskipun ku tak tahu apa artinya.

Aku masih ingat saat berjalan kaki dari Kauman ke Pasar Legi hanya sekedar jalan-jalan sambil menghisap rokok yang diambil dari sisa puntung rokok di jalan. Aku juga masih ingat sering bolak-balik pasar Widuran (sekarang telah ditutup dan dipindah di Pasar Depok) dan Depok untuk membeli jangkrik. Baca lebih lanjut

Andong & Dokar, Alat Transportasi Tradisional yang Berbeda

Sebagai kota yang masuk sebagai warisan peradaban dunia, Solo memiliki banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan yang hingga kini masih terwariskan dan lestari. Salah satu peninggalan warisan tradisional itu antara lain berupa alat transportasi tradisional. Diantaranya adalah Andhong atau Andong.

Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Solo dan Yogyakarta dan daerah-daerah di sekitarnya, seperti Klaten, Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Sukoharjo. Keberadaan Andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang hingga kini masih terus dilestarikan, khususnya di Solo, The Spirit of Java.

Biasanya, keberadaan Andong di Solo difungsikan sebagai alat transportasi pengangkut barang-barang dagangan ibu-ibu dari pedesaan menuju pasar-pasar tujuan. Selain berfungsi sebagai media pengangkut barang dagangan pasar, Andong juga tidak jarang berfungsi sesuai dengan aslinya sebagai alat transportasi umum bagi masyarakat di Solo dan sekitarnya. Baca lebih lanjut